Belik Mbah Jinem

Perasaanku sungguh tak menentu. Kabar lamaran mas Danang datang tak terduga. Bukannya aku tak siap, aku sungguh mencintainya. Tetapi ada hal besar yang lebih aku takutkan, dari sebuak kata cinta.
Aku mengenal mas Danang sudah lebih dari setahun. Dia adalah teman mas Ali, kakakku yang bekerja jadi guru di SMA N I Gondang Sragen. Mas Danang kebetulan mendapatkan SK Pengangkatan CPNS di Gondang juga. Pertamakali aku melihatnya, pandanganku sudah lain. Aku melihat kejujuran dan ketulusan dalam setiap tutur katanya. Hampir tiada kesombongan dan keangkuhan yang aku lihat dari dirinya. Mas Danang memang tidak setampan Roni, pacarku ketika SMA, yang telah berani menciumku di kantin sekolah. Tubuhnya tidak sekekar mas Taufik, pacarku waktu kuliah, kulitnya juga tak seputih mas Ali kakakku. Tetapi entah mengapa, tatapan matanya mampu membius dan meluluhlantakkan semu pesona pria sejagat raya ini
Sura getar HP ku, membuatku tersadar. Segera aku lihat nomor telepon yang masuk. “Mas Danang”. Ujarku lirih sambil setengah berdebar, campur bahagia dan kaget. Segera aku angkat telepon, tanpa menunggu berdering berulang kali. “ Assalamualaikum mas !”, sapaku lembut.” Waalaikum salam dik Ana, mas Cuma mau bilang, apa dik Ana sudah siap saya jemput ? kalau sudah siap, mas segera meluncur ke sana, tapi dik Ana jangan lupa Sholat Ashar dulu, biar tenang jalan-jalannya”. Ujar lembut suara orang yang kucintai.
“Alhamdullillah sudah mas, baru saja selesai. Saya akan berbenah buku dan menunggu di depan kantor”. Aku bekerja di sebuah Bank swasta daerak di kota Sragen. Sejak aku lulus kuliah dan menyandang titel SE, aku enggan melamar pekerjaan yang membuat aku jah dari orang tuaku. Sehingga dengan koneksi temannya mas Ali, aku bisa bekerja di Bank ini.    Kulirik jam tangan IFA yang melekat di pergelangan tanganku. Pukul 3.30 memang Bank tempat aku bekerja tutup jam 3 sore, tapi menyusun laporan setiap hari bisa memakan waktu 30 menit.
Aku benar-benar berdebar menunggu kedatangan mas Danang ke kantorku. Rasa ini semakin berkecamuk, ketika aku ingat bahwa kata mas Ali, sore ini mas Danang akan mengutarakan cintanya padaku, dan akan meminangku. Karena mas Danang memang tidak senang pacaran. Mengingat kata mas Ali itu, aku kembali masuk ke kantor dan membenahi make-up ku yang sudah mulai luntur.
Kupandangi wajahku dengan teliti…hmmmm aku ternyata masih cantik. Bahkan sangat cantik menurutku. Hidungku mancung seperti alm. Bapakku. Rambutku hitam legam lurus terurai, seperti rambut Ibuku. Kulitku putih bersih seperti kulit Bapakku, apalagi ditunjang tinggi badanku 165 cm dan berat badan 50 kg. Lengkap sudah titelku “Ana, gadis cantik , seksi, dan cerdas”. Gumanku dalam hati.
Lamunanku seketika buyar lagi, manakala kudengar suara bel dari depan kantor. Aku hafal sekali suara itu. Itu suara motor mas Danang. Segera saja aku setengah berlari menghampirinya. Tak kupedulikan lagi debar jantungku yang semakin kencang. Semua tertutupi rasa bahagia karena akan dilamar mas Danang.
Setelah kami sampai di rumah makan lesehan yang berada di dekat pasar Gondang, kami pun memesan makanan. Waktu itu rumah makan kelihatan sepi. Padahal biasanya ramai dipadati orang yang membeli lauk atau sekedar minum sambil memandang pelayannya yang cantik-cantik.
.“Makan apa dik ?” tanya mas Danang lembut, setelah kami mendapat tempat duduk yang lumayan nyaman. “Emm…ayam goreng kremes aja mas, kremesnya yang banyak, masa Danang sendiri makan apa ?”tanyaku balik sambil mengatasi debar jantug yang masih tersisa.”aku sama juga, ayam goreng, latihan menyamakan kesukaan, sebelum menyatukan hati”. Wuihh………………. kata-kata terakhir tadi sungguh membiusku dalam samudra kebahagian.
Singkat cerita, kami makan dalam kenyamanan dan hujan kebahagian. Ketika suasana benar-benar hening, kudengar denga suara sedikit parau, mas Danang berkata. “Dik ana, mas mau bicara. Mungkin ini dianggap terlalu berani, atau kewanen 1) istilah jawanya. Tapi mas benar-benar tidak mau menjadikan rasa ini menjadi sebuah penyesalan. Meski bagai pungguk merindukan bulan, tapi dengan segenap keberanian diri, dan kerendahan hati, aku bermaksud meminangmu menjadi istriku…..tapi adik tidak usah takut dan ragu untuk menolakku. Aku sudah siap dik !”. Aku tak lagi mampu berkata. Aku hanya diam. Mataku tak berani menatap mas Danang secara langsung.
Dengan sedikit terbata-bata, aku menjawab lamaran tersebut. “ mas Danang, maafkan saya…..sebenarnya saya sudah memiliki seeorang yang begitu saya cintai..orang itu mampu membuat saya selalu bahagia jika berada disampingnya”. “ oh…begitu ya dik? Maafkan mas kalau begitu”.”tapi saya belum selesai mas. Pria itu sekarang berada di hadapanku….mas Danang!”. Jawabku tanpa ragu. Kubayangkan mas Danang akan terkejut dan berlari memelukku. Tetapi yang kulihat adalah reaksi yang diluar dugaanku.
“Alhamdulillah dik, ternyata cinta mas tidak bertepuk sebelah tangan. Mas bahagia sekali mendengarnya. Minggu depan keluarga mas akan datang meminangmu”. Katanya serius. ‘apa tidak terlalu terburu-buru mas ?”.”tidak dik, mas tidak ingin terjadi zina di antara kita”. “terserah mas saja” kataku seakan kepalaku penuh bungan beraroma wangi bunga kasturi.
Saat lamaran yang aku tunggu telah tiba. Keluarga mas danang benar-benar datang meminangku. Dengan serius Ibuku dan mas Ali membahas tanggal pernikahanku. Ternyata mas Danang dan keluarganya menghendaki kami menikah dua bulan lagi, sepulang Ibuku menunaikan Ibadah haji.
Hari-hari dua bulan menanti saat pernikahan ternyata terasa begitu lama aku rasakan. Dan selama menunggu itu, mas Danang justru jarang ke rumahku. Ketika aku tanya, biar kangennya menumpuk katanya.
Saat yang kunantikan itu pun tiba, dan keanehan serta keganjilan itu dimulai………………..
Kami menikah dalam suasana khusuk bertabur bunga bahagia. Aku akan menjadi istri lelaki yang kucintai. Ijab kabul berjalan lancar, dan malam pertama itu berjalan sangat membahagiakanku….
Seminggu kemudian………………
“ dik, mas mau mengatakan sesuatu padamu. Sebagai istri, adik harus menurut apa kata suami, selagi pendapat mas itu baik”. “apa itu mas?” tanyaku penasaran. “Mulai hari ini, mas ingin adik mengenakan jilbab !”..rasa kaget dan sock itu tiba-tiba menderaku. Tubuhku yang putih dan seksi, yang membuat semua orang berdecak kagum itu harus kututupi dengan baju serba panjang yang disebut baju muslim. Rambutku yang hitam indah terurai ini harus ditutup kain besar yang disebut jilbab. Aku seketika membayangkan bentukku seperti ibuku sejak pulang haji.
Jawaban atas permintaan mas Danang tak langsung kuturuti. Aku perlu kesiapan yang matang. Tapi sementara itu aku lebih memilih acara ngunduh manten2) yang dilaksanakan dirumah mas Danang. Segala keperluanku untuk menginap di Bakalan, Wonogiri. Terus terang aku memang belum pernah sekalipun ke sana. Setelah berpamitan dengan ibu dan mas Ali, aku mbonceng mas Danang menuju kota yang menurutku agak asing di telinga.
Jarak rumahku yang berada di perbatasan jawa tengah dan jawa Timur, tepatnya desa Mantingan Mgawi, Jawa Timur, dengan rumah mas Danang yang di bakalan Purwantoro Wonogiri, katanya bisa ditempuh dalam waktu 3 jam jika naik roda dua.
Perjalanan asing itu pun dimulai. Jalan berliku dan berkabut sangat membuat pantatku terasa sangat penat. Beberapa kali kami istirahat. Karena aku benar-benar merasakan pegal yang luar biasa.beberapa tempat yang sempat aku dengar nama kotanya, tapi seumur-umur belum pernah mendatanginya. Kami melewati kecamatan Widodaren, kecamatan Ngrambe, Jogorogo, Panekan, Kendal, Magetan, Plaosan, Geni langit, dan  beberapa daerah yang aku tidak sempat menghafalkan.
Tiba-tiba mas Danang membelokkan motornya ke jalan yang sudah tak ber aspal lagi. Jalan yang lebih buruk dari bayanganku. Dua kali aku hampir terjatuh di jalan yang terjal dan berliku itu. Dan perjalanan melelahkan itu pun berakhir. Mas Danang menghentikan motornya yang kotor dan berdebu karena menempuh jarak jauh. Rumah besar yang besar seperti pendopo sudah terpampang di depanku. Kalau aku tidak salah, semua terbuat dari kayu jati. Melihat besarnya rumah itu, aku jari membayangkan bagaimana membersihkannya. Ah…tapi pasti mertuaku punya 5 pembantu..kalau tidak, tak bisa aku bayangkan betapa waktu penghuninya dihabiskan untuk bersih-bersih saja. Yang membuat aku heran, penduduk sini meggunakan sekam untuk menutup jalan yang becek. Bahkan lantai di rumah mas Danang ada juga yang ditaburi sekam.
Langkah kakiku segera disambut mertuaku dan beberapa keluarga yang belum pernah aku lihat wajahnya. Hanya melalui cerita mas Danang. Aku segera disuruh istirahat di kamarku. Sebuah kamar yang benar-benar belum pernah aku lihat sebelumnua. Tempat tidur besar dari kayu jati, dan lemari yang tak beda bahannya. Lantaiku diberi karpet yang tampak masih baru. Kulempar tubuhku di atas tempat tidur yang menggunakan kapuk itu. Uuh….. agak sakit rasanya. Gak empuk seperti busa di kamarku.
Kira-kira lima belas menit aku memejamkan mata, aku dikagetkan suara ketokan pintu dari luar. Kucarai mas Danang, dia tidak ada. Segera kubuka pintu kamarku. Dan kulihat wajah mertuaku di depan pintu, membawa seperangkat pakaian yang disebut jarit lurik. Dia menyuruhku mengganti bajuku dengan jarit yang dibuat kemben. “ kowe dienteni neng belik mbah Jinem nduk, masmu wis neng kono, gek salino, trus adus banyu kembang”3). Kata mertuaku dengan logat jawa yang kental. Sebuah keanehan yang ke sekian yang aku dapati. Aku hanya diam dan segera kuturuti saja kemauannya.
Disebuah belik 4) yang airnya sangat bersih, aku dan mas Danang diguyur air yang berasar dari sumber bersih itu.. beberapa orang tua berjoget mengelilingi kami, dan seorang kekek memukul kendang yang kelihatan sekali usia kendang itu hampir sama dengan pemukulnya. Hatiku berontak. Apa-apaan ini ? katanya orang Islam kok menganut kepercayaan seperti ini ?. tak sabar rasanya aku untuk menanyakan pada mas Danang nanti. Aku berusaha bersabar, diam dan diam.
Malam ini mas Danang ternyata tidak tidur di kamarku, kami dipisahkan selama tiga hari.tidak boleh ketemu, bicara, maupun menanyakan kabar sekalipun. Untuk menjalaniruwatan 5) biar langgeng. Begitu alasan mertuaku. Dan selama tiga hari itu bukan sesuatu yang membahagiakan bagiku. Sesuatu yang sejak awal kutakutkan itu pun terjadi. Aku jam 4 pagi sudah disuruh bangun, menyapu halaman seluas iti memakai sapu lidi, sendiri, disaksikan sesepuh mas Danang. Tidak boleh berhenti, dan langsung harus membakarnya. Tak boleh ada satu daun pun tersisa…uhhhh betapa sulitnya. Padahal musim penghujan. Banyak daun basahnya dari daun keringnya. Parahnya lagi, aku menyapu harus lurus ke depan, tidak boleh mundur, memgulang sampah yang tertinggal. Kalau ada sampah tertinggal, aku harus mengulang dari titik awal. Wuih..leleh tak terperikan yang aku alami. Aku dendam pada mas Danang. Ingin aku memaki-maki dan mendampratnya. Setelah menyapu, aku harus mencuci kaki mas Danang 7 kali. Tanpa boleh memandang, berbicara, apalagi memakinya, seperti keinginanku. Dan hal itu berlangsung 3 hari sebelum perayaanngunduh manten terjadi.
Hari yang lebih kutakutkan itu pun terjadi. Jam 6 sore, perias masuk kamarku, aku dimandikan 7 ember air bunga, yang airnya dingin luar biasa, kemudian aku disuruh melangkahi dupa yang berbau aneh, kata mbah atun, periasku, dupa itu diberi menyan6). Katanya untuk merawat organ intim wanita,supaya tetap wangi dan mampu membahagiakan suami. Tak bisa kuceritakan panasnya organ intimku melangkahi dupa mnyala sialan itu 7 kali. Air mata ini tak terbendung lagi. Kalau di Mantingan, pengantin selama 3 hari justru luluran, mandi susu, perawatan badan dan muka. Tapi lagi-lagi ini aneh.Tapi aku berusaha tabah, meski sebenarnya sangat menyakitkan luar dalam. Jam 11 malam rias manten yang menjemukan itu selesai. Aku dibawa keluar kamar tepat pukul 24.00 WIB. Dingin menusuk seluruh tubuhku. Ingin segera ku akhiri semuanya.. dan segera pulang. AKU TIDAK KERASAN!!!!
Upacara resepsi yang orang normal biasanya siang hari itu, di Bakalan, wonogiri, ternyata dilaksanakan selalu tengah malam. Singkat cerita, aku di disuruh keliling rumah tanpa alas, sendiri, tanpa penerangan, sambil menggendong peralatan dapur yang kurang lebih 10 kg..kurang ajar bener adat di desa ini. Dari kemarin aku disuruh puasa selama 3 hari, supaya tidak ada halangan ketika temu manten 7). Buka puasa hanya boleh makan nasi tiwul 8) dan sepgodog 9) saja, tanpa rasa.Aku iyakan saja. Tapi tanpa sepengetahuan mereka, aku makan bekal roti yang ada di koperku. Peduli amat dengan aturan dan tradisi mereka, gak masuk akal !!!!!!.
Ketika selesai mengitari rumah yang super gede itu, (aku hanya keliling 5 kali, toh tidak boleh ada yang ngintip atau mengikuti, kalau diikuti, mereka mendapat sial. Karena aku sedang buang sial), aku harus cuci kaki sendiri, dan memakai sendal manten yang usang. Aku pun dituntun duduk. Ketika aku duduk di kursi manten, pandanganku langsung tertuju pada orang yang tak asing lagi bagiku. Mas Ali, Ibuk, Nurita keponakanku yang berusia 3 tahun tidur terlelap di pangkuan tante Neti, serta kira-kira 100 orang tetanggaku yang klihat rasa lelah dan ngantuk karena perjalanan jauh, apalagi berkabut, dan malam hari.
Ingin rasanya aku berlari dan menghambur ke pelukan Ibuku, serta kukatakan, aku mau Cerai !!! aku tidak mau punya suami, dan mertua aneh !! mereka mempermainkanku, mereka menyiksaku! Aku dianggap pembantu, bahkan kerja lebih berat dari pembantu, karena aku harus bekerja ketika puasa.
Secara singkat, kuceritakan acara resepsi yang aneh itu. Aku harus mencuci kaki suamiku yang kotor, karena menginjak telur mentah, aku harus menggendong suamiku (meski kurus) menuju kursi penganten. Aku harus bersujud 7 kali di kaki suamiku,dan mengucapkan akan berbakti sampai mati pada suamiku. Kujalani semuanya bukannya iklas, dengan emosi yang semakin membara. Islam juga tak mengajarkan wanita serendah itu ! dan mas Danand serta keluarganya telah merendahkan seorang Sarjana Ekonomi yang cerdas, cantik, dan bermartabat seperti aku. Tak terasa aku meneteskan air mata, aku tak kuasa menahannya. Aku menangis sejadi-jadinya dan berlari menghambur ke pelukan Ibuku. Tak kupedulikan tatapan orang yang melihat aneh bercampur kaget pada sikapku. Mereka tak menduga ! tapi aku tidak tahan !.
Bersamaan dengan itu, terdengar suara orang yang berteriak, bahwa sungai kresek yang biasanya tidak ada air, tiba-tiba airnya meluap, banjir, dan sudah meluluhlantakkan lima rumah ditepinya, hal ini pernah terjadi 10 tahun lalu ketika ada salah seorang penganten melanggar ritual di belik mbah Jinem. “Mbah Jinem Ngamuk!!!” begitu ucap semua orang. Semua mata menatapku penuh kebencian, termasuk mertua dan warga desa. Hanya mas Danang yang menunduk dan tak sanggup menatapku !! lelaki biadap !! dimana kejntananmu ? dimana tanggungjawabmu ? segera aku berlari menghampiri mas Danang dan memaki-makinya. Mas Ali mencoba menghentikanku, tapi tenagaku terlalu kuat untuk dicegah.
Puas rasanya aku memaki suamiku, segera aku berlari ke kamar dan mengemas semua barangku ! aku ganti baju sekenanya. Tak kupedulikan semua mata yang melotot padaku. Aku meraih jaket dan lari menyeret tangan mas Ali dan pamanku. Ku rayu mereka untuk pergi membawaku pulang. Tapi aku dicegah suamiku. Tangannya meraih dan memelukku erat-erat. Dia memohon dan bersujud di kakiku, memohon agar aku tidak meninggalkannya.. semua mata kembali terbelalak kaget. Karena tidak boleh lelaki menyentuh wanita sebelum resepsi selesai, karena akan mendatangkan bahaya besar. Kekhawatiran itu ternyata terjawab tak lama kemudian….
Suara petir bertubi-tubi menghiasi langit di desa sialan ini, hujuan turun tanpa rintik terlebih dahulu. Bak air bah yang tertumpah dari langit. Semua berlari menyelamatkan diri. Terdengar suara “banjiiiiir ! belik mbah Jinem airnya mendidih, meluap ! “ ujar warga yang tak ku kenal namanya. Untuk yang ke sekian kali semua mata semakin membenciku !! aku tidak peduli ! aku segera lari dengan keluargaku menuju mobil kami,menembus kabut dan derasnya hujan, aku menangis sambil meninggalkan desa sialan ini !!.
Kulihat wajah kebingungan dari semua anggota keluargaku. Aku tahu, mereka menyimpan tanya, apa yang aku lakukan di desa ini, sehingga desa ini kena musibah ?. tapi aku tak akan menjawabnya sekarang. Biar mas Danang yang menjelaskan nanti.. karena kulihat mas Danang berada disampingku, memelukku, dan tiada henti mengatakan semua bukan salahku. Aku tak akan datang lagi ke sana. Biar aku hidup hanya dengan suamiku, dan menerapkan aturan yang aku buat dengan mas Danang, yang logis dan tidak saling menyiksa.
Setelah beberapa minggu aku menenangkan diri, dari mas Danang kutahu, desa mertuaku habis ditelan banjir. Mertuaku sekarang tinggal dengan kakak iparku di desa Gondang. Dari suamiku juga aku tahu, mengapa Ia menyuruhku berjilbab. Karena ketua adat tidak akan berani menerapkan hukum adat pada muslim seperti kami…. tapi kenapa mas Danang baru menceritakan sekarang ?…entahlah, aku tidak peduli. Lebih baaik kupikirkan janin yang berusia 2 minggu yang bersemayam di rahimku.. buah cinta kami…….


Keterangan:
1kewanen 1): Terlalu berani
2ngunduh manten2): Acara mengundang pengantin wanita ke rumah pengantin pria, biasanya seminggu setelah resepsi di rumah pengantin wanita.
3kowe dienteni neng belik mbah Jinem nduk, masmu wis neng kono, gek salino, trus adus banyu kembang”3).: “Kamu ditunggu di belik Mbah Jinem nduk, (sebutan anak wanita di jawa), suamimu sudah disana, gantilah baju, terus segera mandi air kembang”
4belik 4): Sumber air yang ada di dekat sungai, biasa dipakai untuk mandi, atau memanfaatkan air bersih. Tetapi di Jawa, biasanya dianggap  menjadi tempat keramat.
5ruwatan 5): Upacara tradisi Jawa dengan tujuan membuang sial
6menyan6).:Salah satu bebatuan, yang fungsinya membakar arang dan sesaji. Tujannya, unyuk menghantar doa pada leluhur yang telah meninggal.
7temu manten 7).: Acara wajib setiap pernikahan Jawa, mempertemukan pengantin dalam sebuah ritual khusus.
8nasi tiwul 8): makanan pengganti nasi, yang terbuat dari singkong. Hanya ada di Wonogiri.
9sepgodog 9): Singkong rebus